Revisi UU BUMN Perkuat Pengawasan
Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Azam Asman Natawijana (F-Demokrat) menilai pengelolaan BUMN harus diupayakan semaksimal mungkin untuk kepentingan dan dimiliki negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, sesuai dengan amanat Pasal 1 UU Nomor 19 Tahun 2003.
Karena saat ini komisaris dan pengawas Badan Usaha Milik Negara (BUMN) banyak yang tidak profesional dan membuat perusahaan negara merugi dan tidak kompetitif . Azam khawatir kalau kondisi tersebut tidak berubah maka Indonesia akan kalah dalam bersaing dengan negara lain terutama di era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).
Padahal pada sisi lain BUMN itu dituntut memberikan kontribusi kepada negara namun faktanya lebih banyak unsur politisnya. Sebagai catatan, hampir setiap menjelang maupun setelah pemilihan Presiden, susunan komisaris maupun pimpinan BUMN mengalami perubahan. Sebagian mereka berasal dari kalangan tim sukses sang calon presiden. Azam pun mengakui tarik-menarik antara kepentingan usaha dan kepentingan politik di tubuh BUMN sulit untuk dihindari.
Salah satu yang menjadi pokok pembicaraan adalah tugas BUMN yang seharusnya dikembalikan ke tujuan awalnya, “Kalau misalnya ada BUMN yang ditugaskan untuk mencari profit ya silahkan mencari profit, jangan sampe ada BUMN yang memiliki fungsi penugasan tapi dilakukan mencari untung,” Hal itu disampaikan Azam saat menjadi pembicara dalam Forum Legislasi yang berlangsung di Ruang Diskusi Media Center DPR RI, pada Kamis, (07/04).
Dalam forum tersebut, Azam menuturkan bahwa baik dan buruknya BUMN itu bergantung pada pihak yang ada di dalamnya, seperti menteri, komisaris serta pengurus lainnya. Sehingga pengawasan yang dilakukan DPR berada di lini kedua. “Oleh karena itu pengawasan baik buruknya BUMN ada ditangan pengurus, komisaris dan menteri yang mengangkatnya. Di DPR menjalankan fungsi pengawasan di lini kedua,” ujarnya.
Secara mendetail, Azam menegaskan bahwa tidak boleh satu deputi mengawasi puluhan BUMN, hal itu menurutnya tidak akan membuat fungsi pengawasan menjadi efektif. Sehingga perlu ada evaluasi untuk perbaikan kedepan. “Deputi yang tugasnya mengawasi hari demi hari harus paham makhluk apa yg diawas. Jadi tak bisa satu deputi mengawasi puluhan BUMN. Tidak cukup waktunya dan tidak efektif. Deputi harusnya mengawasi sedikit BUMN,”jelasnya,
Selain itu, yang tak kalah pentingnya adalah mengenai komisaris yang seharusnya ditempatkan oleh orang-orang yang paham tentang tugas pokok dan fungsinya. Azam mendorong agar komisaris BUMN itu diisi oleh orang-orang yang profesional, bukan hanya seremonial. Hal itu penting untuk memperkuat kembali fungsi BUMN.
“Komisaris itu bukan hanya seremonial, komisaris itu harus diisi oleh pihak profesional yang paham tentang industri. Misalnya, pengelolaan keuangan di masing-masing BUMN itu berbeda baik itu pupuk, migas, sumber daya dan lain-lain. Antar BUMN itu berbeda pengelolaannya,” ujarnya.
Sebaimana diketahui, UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN ini sudah berumur 13 tahun. UU tersebut berkaitan dengan UU Nomor 17 Tahun 2003. Sehingga UU Nomor 19 Tahun 2003 ini dasar hukumnya adalah UU Nomor 17 Tahun 2003. Baru setelahnya muncul UU Nomor 1 Tahun 2004. Jadi ada tiga 3 UU yang berkaitan antara satu dengan yang lain dan ada tiga rujukan UU dalam pengelolaan BUMN. (hs,mp)/foto:arief/parle/iw.